Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa.
Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat.
Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton.
Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822) yang saat itu baru berusia 3 tahun.
Baca Juga: Jejak Pangeran Diponegoro di Kabupaten Ponorogo, Sempat Singgah dan Istirahat di Kota Reyog
Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danurejo IV dan Residen Belanda.
Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.
Salah satu anaknya yang terkenal adalah Sentot Alibasya Prawirodirjo atau Sentot Prawirodirjo II yang juga ikut berjuang bersamanya melawan Belanda.
Pangeran Diponegoro memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa sebagai bentuk perlawanan terhadap politik ekspansi dan intervensi Belanda di tanah Jawa.
Perang ini berlangsung selama lima tahun dengan melibatkan rakyat Jawa dari berbagai lapisan dan daerah.