Petani

16 Maret 2024, 04:00 WIB
Sawah /pixabay @felixmittermeier/

PonorogoNews.com - Matahari belum muncul, udara masih dingin, oncor di sepanjang jalan masih menyala, petugas ronda sudah tidur di cakruknya masing-masing. Para peronda memang tidak tidur semalam suntuk, barulah ketika fajar menyingsing mereka tidur dicakruknya masing-masing.

Aku bangunkan kekasihku lalu kusuruh dia membuatkanku segelas kopi, aku belum mempunyai anak, umur pernikahanku sebenarnya sudah hampir 5 tahun, tapi Tuhan belum mengizinkan aku untuk mendidik anakku sendiri.

Sudah hampir setahun aku mendidik para petani agar bisa menjadi petani yang ideal, seperti titah Maharaja "Didiklah para petani agar mereka bisa meresapi apa itu tugas petani.”

Selama setahun, aku selalu bangun pagi, untuk mandi kemudian ngopi sebelum berangkat ke gedung tempatku mengajar.

Tidak seperti guru Agung yang mendidik para pangeran, putra-putri bangsawan serta masyarakat umum yang diseleksi secara ketat. Aku mengajar para petani yang secara naluri tidak perlu pendidikan formal, sehingga dalam mendidiknya aku perlu usaha keras agar mereka bisa menjadi petani yang benar-benar petani.

Selama setahun, aku hanya mengajar tentang arti kehidupan. “Siapakah kamu?" Tanyaku pada mereka. Reaksinya ada yang diam, ada yang menjawab aneh dan ada pula yang menunduk sambil bergumam "aku hanya hamba dari sekian hamba yang dimiliki Maharaja," dan masih banyak jawaban yang lainnya.

Guru Agung mengajari peserta didiknya untuk mengolah tubuh agar bisa mengendalikan alam sekitar, aku mengajari petani untuk memahami ‘siapakah aku’

***

Kunikmati minuman hangat buatan kekasihku, sementara kekasihku kembali tidur. Kupandangi dirinya yang masih muda dan segar. Mulutku mengepulkan asap rokok, sedang tanganku menulis pelajaran yang akan aku sampaikan nanti.

***

Bagaimana sebuah objek yang kamu lihat itu terbentuk? lalu adakah masalah di dalamnya? jika iya bagaimana pemecahan atas masalah tersebut? Tapi sebelumnya apakah kamu sekalian tahu apa itu masalah?" Tanyaku pada para petani muridku.

Mereka memandangku, melihat mimik bicaraku, ada yang mlongo dengan mata menerawang hal yang jauh, ada juga yang malah tertidur. Untuk yang tidur aku tidak akan membangunkannya, pagi-pagi sebelum orang bangun mereka harus mengairi sawah agar tanaman padi bisa tumbuh dengan sehat.

Beragam ekspresi itu selalu muncul di dalam kelasku, untuk berlaku disiplin seperti Guru Agung aku tidak berani. Jika aku menerapkan sikap disiplin kelas Guru Agung aku takut jika muridku ngambek dan tidak mau berangkat belajar esok hari. 

“Masalah adalah hal yang kamu anggap tidak pas berdiri di tempatnya pada saat itu, asumsi tidak pas tersebut bisa dari latar belakang agama, ekonomi, sosial, politik, adat dan kebudayaan yang telah terlebih dulu kamu terima. Jika iya tidak sesuai dengan asumsimu diawal maka itu bisa jadi masalah.”

“memang asumsi orang berbeda-beda, latar belakang orang juga berbeda-beda. Tapi suatu masalah jika engkau tinjau dari sisi kemanusiaan akan tetap menjadi masalah walau latar belakang agama, ekonomi, sosial, politik dan adat kebudayaanmu berbeda.”

Panjang lebar aku menjelaskan pada mereka, sekali lagi tidak seperti Guru Agung yang menyampaikan satu materi pelajaran dan mewajibkan muridnya untuk paham, aku hanya menyampaikan tanpa berharap muridku memahami materi pelajaran.

Murid-muridku masih diam, ada yang melongo, ada yang tidur, ada yang kelihatan aktif menulis. 

Masih seperti saat aku menyampaikan materi awalku, murid-muridku masih diam. Walau di awal masuk kelas aku sudah menyuruh mereka langsung bertanya jika ada yang kurang paham, tapi mereka tetap diam, dan akupun diam dengan berprasangka baik jika mereka sudah paham.

Sebenarnya masih banyak materi yang akan aku sampaikan, mengenai proses menulis. Pertama harus memiliki 4 kunci, pertama latar belakang sebagai pijakan untuk memikul masalah, kedua identifikasi masalah agar tidak keliru memilih suatu masalah, ketiga pembatasan masalah agar bisa fokus pada masalah yang akan dikaji, keempat perumusan masalah atau hipotesis awal dari sebuah masalah sehingga kita bisa mengajukan perkiraan solusi apa dari suatu masalah.

Tapi para petani terlihat lelah, aku putuskan untuk mengakhiri materi pelajaran, tapi sebenarnya ada satu orang yang sibuk menulis, kelak suatu saat nanti dia dikenal dengan pujangga yang banyak melahirkan karya-karya sastra.***

Editor: Wibbiassiddi

Tags

Terkini

Terpopuler